Jumat, 18 Januari 2008

HIDUP DAN PESAN NABI

Hidup bagaikan garis lurus.... tak pernah kembali ke masa lalu
Hidup bukan bulatan bola.... yang tiada ujung dan tiada pangkal
Hidup ini melangkah terus.... semakin mendekat ke titik terakhir
Setiap langkah hilangkan jatah menikmati hidup nikmati dunia

Pesan Nabi tentang mati.... jangan takut mati karena pasi terjadi
Setiap insan pasti mati.... hanya soal waktu
Pesan Nabi tentang mati... jangan takut mati karena pasti terjadi
Dan janganlah kau berbuat menyebabkan mati

Tiga rahasia illahi yang berkaitan dengan hidup manusia
Kesatu tentang kelahiran, kedua pernikahan dan ketiga kematian
Penuhi hidup dengan cinta dan ingatkan diri saat untuk berpisah
Tegakkan sholat lima waktu dan ingatkan diri saat di sholatkan


M. Bahrul Ulum. Penulis adalah mahasiswa semester V jurusan ilmu pemerintahan Sekolah Tinggi Ilmu Politik (STIPOL) Nurdin Hamzah Jambi

Senin, 07 Januari 2008

KAMUFLASE DALAM PILKADA


Beberapa tahun terakhir kita dilarutkan dalam euforia pilkada langsung. Berbagai fenomena kita dapati didalamnya, mulai dari kampanye, saling adu argument, praktek money politic hingga saling hujat antar kandidat. Khusus saling hujat memang tidak di lakukan dalam sebuah forum resmi, namun ini hal tercermin dari tindakan para pendukung masing-masing calon.

Dengan melihat fenomena tersebut tentu kita kembali bertanya, sejauhmana keefektifan sistem Pilkada Langsung dalam proses menciptakan iklim demokrasi yang kondusif guna mencari solusi bagi permasalahan yang sedang di alami bangsa ini. Jawaban itu tentu sudah ada dalam benak kita masing-masing. Hanya sayang, jawaban kita sering tidak jujur. Jawaban kita sering di boncengi oleh kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan sehingga kita sering menafikkan jawaban yang sebenarnya tersirat dalam hati kita semua.

Dalam proses kampanye sendiri terlalu banyak kamuflase-kamuflase politik yang muncul. Calon Kepala Daerah yang selama ini ‘masa bodoh’ dengan nasib rakyat, tiba-tiba menjadi orang yang paling peduli. Pengajian-pengajian yang selama ini sepi, tiba-tiba ramai dipadati oleh para politisi dari partai pengusung calon kepala daerah. Rumah-rumah ibadah yang tadinya reot, tiba-tiba berubah menjadi rumah ibadah berdinding batu, karena apa? karena banyaknya sumbangan yang masuk dari calon kepala daerah yang kebanyakan dilakukan hanya karena mencari simpati massa calon pemilih. Padahal ketika sudah menjabat kepala daerah, banyak para calon yang tadinya peduli, aktif di pengajian dan menjadi seorang darmawan berubah menjadi sosok yang jumawa dan merasa diri paling mulia dibandingkan masyarakat lain. Sungguh ironis dan memalukan. Sebuah kamuflase politik yang mudah ditebak oleh orang bodoh sekalipun.

Ada anekdot yang menurut saya tepat untuk menggambarkan kondisi ini. “Jika kita ingin membangun sebuah rumah ibadah dalam masa kampanye, maka bukan uang yang menjadi permasalahan tetapi bagaimana cara mengumpulkan KTP sebanyak-banyknya guna mendukung salah satu Calon Kepala Daerah ”. Ya, ungkapan itu mungkin memang tepat jika dikaitkan dengan kondisi elit politik di negeri ini. Para pengusung calon dari partai Islam pun tidak luput dari kebiasaan ‘aneh’ menjelang Pilkada ini.

Dari pengalaman yang saya dapatkan di lapangan, ada sebuah hipotesis yang menurut saya dapat dikatakan valid kebenarannya, yaitu kenapa kamuflase itu dibutuhkan ? tidak lain karena semua beorientasi pada simpati publik, bukan 'simpati' Allah SWT . Para pemilih lebih sering melihat kepada sosok calon kepala daerah dan bukan pada track record-nya selama ini. Aspek kondisi prilaku calon kepala daerah pun seiring di abaikan, akibatnya terjadilah kasus KKN yang tidak berujung sembuh.

Benarkah Pilkada Merupakan Sistem Yang Tepat ?

Tentu jawaban dari pertanyaan ini masih di perdebatkan. Bagi sebagian kalangan khususnya elit massa yang mempunyai kantong tebal tentu ini merupakan sebuah jalan tol menuju tangga kekuasaan. Tapi bagi kalangan masyarakat bawah menjadi seorang kepala daerah tentu hanya menjadi angan-angan belaka.

Hampir di setiap wilayah yang melaksanakan proses Pilkada selalu berakhir dengan rusuh. Mulai dari isu kecurangan kampanye sampai isu penggelembungan suara, dan semua itu selalu berujung dengan bentrok antara pendukung (kasus yang terparah terjadi pada Pilkada Tuban yang berakhir dengan pembakaran Gedung Pendopo Kabupaten).

Dari Pilkada yang sudah-sudah para kandidat calon kepala daerah terlihat kurang serius dalam memberikan pemahaman kepada pendukungnya untuk menerima segala macam perbedaan termasuk menerima apapun hasil yang akan dicapai dalam Pilkada. Akibatnya, jika calonnya kalah maka pihak luar lah yang sering di jadikan kambing hitam atas kegagalan tersebut dan yang sering menjadi korban adalah KPU dan calon kepala daerah yang memenangkan Pilkada. Hal ini selalu terulang hampir di setiap Pilkada dan kasus terbarunya adalah Pilkada Pemilihan Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan yang harus di ulang di 4 kabupaten berdasarkan hasil keputusan MA.

Dari kejadian-kejadian di atas tentu kita harus kembali mengkoreksi diri, dimana sebenarnya letak kesalahan tersebut. Pada sistemnyakah atau lebih kepada pelakunya. Apakah kamuflase-kemuflase politik berikutnya akan terus berlangsug ?
Jawabannya ada pada diri kita semua selaku anak bangsa yang menginginkan terwujudnya masyarakat madani. Tentu kita rindu dengan suksesi pemilihan pemimpin pada era Khalifah Khulafaurrasyidin yang penuh dengan kedamaian, jauh dari kesan kamuflase seperti sekarang ini.
M. Bahrul Ulum. Penulis adalah Mahasiswa Semester V Jurusan Ilmu Pemerintahan Pada Sekolah Tinggi Ilmu Politik Nurdin Hamzah (STIPOL NH) Jambi.